Bahasa Indonesia ID English EN

Mendiskusikan Ruang Seni Inklusif Bersama Keluarga Indonesia Inklusi di “The 10th Urban Social Forum”

Ditulis oleh: Ken Penggalih

Seni merupakan salah satu media advokasi yang dapat membawa perubahan, salah satunya dengan menjadi medium untuk menciptakan ruang-ruang hidup yang inklusif. Urban Social Forum merupakan acara tahunan yang diselenggarakan untuk memberikan ruang terbuka dan inklusif yang berfungsi sebagai wadah untuk bertukar pengetahuan, ide, dan jaringan terkait isu urban dari berbagai pihak. Pada tanggal 9-10 Desember 2023 lalu, kelompok kerja seni dan riset Indonesia Inklusi berkesempatan untuk turut mengisi the 10th Urban Social Forum yang diselenggarakan di Solo. Melalui berbagai rangkaian kegiatan the 10th Urban Social Forum, kelompok kerja Seni dan Riset DEIA (diversity, equity, inclusion, and accessibility), Indonesia Inklusi berbagi tentang praktik baik di bidang seni dan riset yang telah dilakukan untuk mewujudkan ruang-ruang inklusif.

Pada hari pertama, Indonesia Inklusi menggelar booth untuk meramaikan “Gerai Komunitas”. Di booth Indonesia Inklusi, para pengunjung bisa mengobrol dengan keluarga Indonesia Inklusi untuk berkenalan lebih lanjut dengan organisasi-organisasi yang tergabung dalam Indonesia Inklusi beserta dengan kerja-kerjanya. Selain itu, pengunjung dapat menonton film pendek yang berjudul “Relawan Perempuan” dan “Berdaya Bersama”, serta pameran mini photovoice keluarga Indonesia Inklusi. Aktivitas lain yang juga bisa dilakukan di booth Indonesia Inklusi adalah bermain bersama permainan kartu tentang inklusivitas “Sewarga”, yang diproduksi oleh Pamflet Generasi, dan “Gender Jeopardy”, yang diproduksi oleh Sanggar Seroja, juga membaca buletin yang diterbitkan oleh Indonesia Inklusi.  

Booth Indonesia Inklusi di Urban Social Forum.

Keluarga Indonesia Inklusi juga mengisi salah satu diskusi paralel di the 10th Urban Social Forum. Diskusi yang bertajuk “Seni untuk Semua: Mendefinisikan Kembali Ruang Seni yang Inklusif” tersebut diisi oleh Gerkatin Solo, Komunitas KAHE, Perwakas, Minikino, Suara Grina, Kembang Gula, Selasar Sunaryo, dan Sanggar Seroja. Selama dua jam berdiskusi, kelompok kerja seni dan riset Indonesia Inklusi berbagi pengalaman mereka ketika bekerja untuk mewujudkan ruang seni yang inklusif, strategi-strategi kerja yang digunakan, serta tantangan-tantangan yang dihadapi dalam upaya tersebut.

Dalam gerakan teman-teman tuli, isu Jawa-sentrisme masih menjadi salah satu tantangan terbesar yang harus dihadapi.  “Khususnya terkait Bahasa Isyarat Indonesia, saya melihat bahwa SDM-nya masih terbatas sehingga perkembangannya juga menjadi terhambat. Misalnya, saat ini JBI (Juru Bahasa Isyarat) tersebar secara terpusat di daerah Jawa saja, padahal teman-teman Tuli di luar Jawa juga membutuhkan. Jadi, kita harus mendorong perluasan penggunaan Bahasa Isyarat Indonesia secara bersama-sama agar bisa menjangkau lebih banyak teman Tuli lainnya,” jawab Bima dari Gerkatin Solo ketika ditanya mengenai tantangan inklusivitas bagi teman Tuli. 

Bagi teman-teman transpuan, tantangan terbesar datang dari lingkup keluarga dan masyarakat sekitar. Silvy dari Perwakas dan Mama Atha dari Sanggar Seroja bercerita bahwa teman-teman transpuan sering mendapatkan diskriminasi dari keluarga dan lingkungan sekitar, yang pada akhirnya membuat teman-teman transpuan tidak bisa mengekspresikan dan mengaktualisasikan dirinya. Tantangan dari lingkungan sekitar juga dihadapi Suara Grina ketika mengajak teman-teman perempuan di kampung Benyam, Lembah Grime Nawa, untuk menulis. Banyak orang di kampung yang tidak percaya dengan kemampuan perempuan muda sehingga pendekatan harus dilakukan secara perlahan-lahan agar bisa diterima. 

Pada hari kedua, keluarga Indonesia Inklusi mengikuti tur “Jejak Kreasi: Mural Partisipatif untuk Kota Inklusi” yang mengunjungi tiga titik mural yang tersebar di sudut-sudut Kota Solo bersama Kota Kita, Gerkatin Solo, dan Ruang Atas. Melalui kegiatan tersebut, keluarga Indonesia Inklusi menjelajahi Solo sembari melihat bagaimana teman-teman Gerkatin Solo, Kota Kita, dan Ruang Atas berkolaborasi dan menggunakan seni untuk menciptakan ruang temu dan diskusi antara teman Tuli dan masyarakat Dengar.

Di titik pertama, yaitu Monumen 45 Banjarsari, terdapat tiga karya mural yang digambar oleh seniman Tuli, yaitu Melly, Galih, dan Bima. Dalam karya muralnya, Melly menggunakan gaya doodle art dan menggambarkan berbagai karakter yang mewakilkan teman Tuli dan Bahasa Isyarat Indonesia. Melly ingin menyampaikan bagaimana budaya Tuli berkaitan erat dengan komunikasi visual, sekaligus mengajak orang untuk mengenal budaya Tuli dan berkomunikasi dengan teman Tuli menggunakan Bahasa isyarat. Selanjutnya, untuk karya mural Galih, ia menggunakan karakter wayang Rajamala yang sifatnya telah dimodifikasi, karakter manusia berwarna biru, yang mana sedang menggambarkan kedua karakter tersebut sedang berkomunikasi dengan Bahasa Isyarat. Melalui karya mural tersebut, Galih ingin bercerita tentang dua media komunikasi yang saat ini jarang digunakan, yaitu Bahasa Isyarat dan wayang. Terakhir, karya mural Bima mengangkat sejarah teman Tuli dengan menggambar berbagai tokoh. Selain menceritakan tentang proses kreatif dari pembuatan karya mural tersebut, Bima juga berbagi hasil risetnya tentang sejarah Bahasa Isyarat di Indonesia, yang juga menjadi bahan dari karyanya. 

Mural hasil karya Bima dari Gerkatin Solo.

Setelah berdiskusi dengan Melly, Galih, dan Bima, rombongan tur beranjak ke Koridor Gatot Subroto, atau yang sering disebut sebagai Koridor Gatsu, yang terletak di Jalan Slamet Riyadi sampai Jalan Gatot Subroto. Teman-teman Kota Kita, Gerkatin Solo, dan Ruang Atas memilih Koridor Gatsu sebagai lokasi mural kolaborasi mereka karena Koridor Gatsu merupakan salah satu lokasi yang paling populer di Solo. Lima tahun terakhir, pemerintah mendesain area ini untuk menjadi galeri mural, dan menggandeng seniman-seniman Solo untuk mengisi galeri tersebut dengan mural yang dapat menggambarkan kekhasan Solo. Representasi dari teman Tuli menjadi penting untuk menunjukkan eksistensi, dan menyampaikan pesan dari teman Tuli di ruang publik.

Di deretan ruko di Jalan Slamet Riyadi, terpampang satu mural besar yang menampilkan gambar lanskap solo dan Bahasa Isyarat Indonesia. Mural tersebut digambar oleh teman-teman seniman Dengar dari Ruang Atas dari hasil kolaborasi dan diskusi dengan teman-teman Tuli dari Gerkatin Solo. Mural tersebut bertujuan untuk menyampaikan keresahan teman-teman Tuli, yaitu minimnya penggunaan Bahasa Isyarat Indonesia di masyarakat. 

Selanjutnya, rombongan tur kemudian berjalan ke salah satu gang yang ada di Jalan Gatot Subroto. Di gang tersebut, terdapat sebuah karya mural yang mengangkat tema cinta perdamaian. Karya mural tersebut digambar oleh teman-teman seniman Dengar sebagai salah satu perspektif dari masyarakat Dengar mengenai toleransi dan spirit cinta keberagaman. Untuk menutup kegiatan tur, rombongan diarahkan untuk mengunjungi Solo is Solo dan menggambarkan perspektif pribadi pada media kertas kecil tentang kota yang inklusif sebagai refleksi setelah mengikuti tur tersebut.

Kerja kolaborasi dari Kota Kita, Gerkatin Solo, dan Ruang Atas merupakan sebuah proses pembelajaran yang panjang bagi kami semua, dan karya-karya mural tersebut adalah manifestasi fisik dari kerja panjang dan hasil dari kolaborasi tersebut,” ucap Vanesha, pemandu tur dari Kota Kita.

Kegiatan kemudian dilanjut dengan pertunjukan dari Sanggar Seroja, yang diadakan di Lokananta. Pertunjukan tersebut adalah musikalisasi puisi yang mengangkat cerita tentang dialog antara dua transpuan di Indonesia dari dua era yang berbeda. Setelah pertunjukan dari Sanggar Seroja, acara the 10th Urban Social Forum ditutup dengan pemutaran tiga film dari Kembang Gula, yaitu “Solo Love Story”, “On the Way Loving You”, dan “Antar Kota dalam Provinsi”, dan diskusi bersama Fanny Chotimah dari Kembang Gula. Proses yang dijalani oleh keluarga Indonesia Inklusi selama dua hari di the 10th Urban Social Forum menjadi sebuah pengingat tentang pentingnya interseksionalitas dalam gerakan. Dengan dibangunnya interseksionalitas, kerja-kerja gerakan kemudian dapat memetakan kebutuhan-kebutuhan satu sama lain dan akhirnya secara bersama-sama dapat menemukan cara untuk saling memenuhi kebutuhan tersebut. Seni kemudian bisa menjadi alat pendukung perubahan sosial. Untuk itu, seni harus bisa menjadi media yang inklusif untuk dapat diakses oleh semua orang. Meski demikian, masih banyak hal yang harus dilakukan secara bersama-sama, yang tentunya juga membutuhkan dukungan, baik dari masyarakat umum maupun dari pemerintah.

Bagikan

Share on facebook
Facebook
Share on google
Google+
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on pinterest
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lainnya