Bahasa Indonesia ID English EN

SimpaSio Institute: Telusur Khasiat dari Leluhur

Pernah dengar soal khasiat-khasiat tumbuhan di sekitar kita? Tak terhitung banyaknya khasiat-khasiat tumbuhan untuk kesehatan manusia yang dipercayai dan disebarluaskan sejak jaman dahulu. Kini, sekumpulan pengetahuan dan praktik ini kemudian disebut sebagai ‘pengobatan tradisional’. 

Namun, seiring dengan berkembangnya dunia medis, pengobatan tradisional seringkali menuai perdebatan. Salah satu permasalahan utama yang sering diperdebatkan adalah kurangya pedoman yang terukur dan uji coba ilmiah dalam pemakaian obat tradisional. Terlebih, ini diperkeruh stigma seputar pemanfaatan khasiat-khasiat tumbuhan sebagai suatu yang ‘kampungan’. 

Menanggapi kondisi ini, bagaimana warisan pengetahuan mengenai khasiat tumbuhan bisa bertahan dan beradaptasi dengan dunia medis terkini? SimpaSio Institute menelusuri pertanyaan ini melalui upaya modernisasi pengobatan tradisional masyarakat Nagi Larantuka, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. 

Modernisasi pengobatan tradisional

Upaya modernisasi pengobatan tradisional masyarakat Nagi Larantuka ini dilaksanakan sebagai bagian dari rangkaian kegiatan konsorsium Kampung Katong, di mana SimpaSio Institute berinisiatif dalam mereproduksi pengetahuan lokal dengan semangat dekolonisasi. 

SimpaSio Institute sendiri merupakan lembaga pengarsipan dan pengkajian budaya Flores Timur. Dalam Bahasa Melayu-Larantuka, kata simpa-sio artinya menyimpan atau mengatur dengan baik–biasanya digunakan dalam konteks menyimpan barang-barang setelah digunakan. Walau baru menjadi lembaga untuk umum pada tahun 2016, embrio dari SimpaSio Institute sudah ada dan berkembang sejak tahun 1986. 

Sumber foto: Dokumentasi SimpaSio Institute

SimpaSio Institute memulai proses modernisasi pengobatan tradisional ini dengan asesmen awal bersama warga lokal. Selain berdiskusi dengan tokoh-tokoh kesehatan, Tim Kreatif memperkaya proses asesmen dengan mengunjungi sejumlah narasumber yang dikenal sebagai tabib lokal. Dalam gambar di atas, tim SimpaSio Institute sedang mendatangi warga lokal sebagai narasumber untuk mempelajari tanaman obat berkhasiat. 

Ragam tanaman, khasiat, dan cara pengolahan

Sumber foto: Dokumentasi SimpaSio Institute

Ada banyak tanaman-tanaman berkhasiat yang didata oleh SimpaSio. Salah satunya adalah daun leniti. Warga Nagi Larantuka percaya bahwa daun leniti mempunyai banyak khasiat untuk perempuan, khususnya dalam melancarkan menstruasi dan untuk dipakai mandi setelah melahirkan.

Sumber foto: Dokumentasi SimpaSio Institute

Daun afrika dipercaya mampu menyembuhkan penyakit malaria, diabetes, dan flu. Uniknya, tanaman ini dipercaya efektif jika direbus daun dalam jumlah ganjil. Ada juga yang berpendapat bahwa ia bisa dikunyah langsung tanpa direbus.

Sumber foto: Dokumentasi SimpaSio Institute

Begitu pula dengan tanaman jarak. Ranting dari tanaman yang sering disebut Padu Klou oleh warga setempat ini berkhasiat mengobat sakit telinga. Namun, cara penggunaannya begitu spesifik–rantingnya dipotong menjadi bagian-bagian kecil dalam jumlah ganjil, salah satu ujungnya dipanaskan dengan api dan diletakkan ke telinga, kemudian ujung lainnya ditiup. Pemotongan ke dalam angka ganjil ini harus berbeda dalam tiap pemakaian. Jika sudah dipotong menjadi 5 bagian, misalnya, pemotongan dalam penggunaan setelahnya harus dalam 1, 3, 7, atau bahkan 9 bagian.

Sumber foto: Dokumentasi SimpaSio Institute

Dedaunan dari pohon kandapistu sudah lama dipakai untuk melancarkan pencernaan, khususnya untuk orang yang menderita konstipasi. Ia juga dapat digunakan perempuan untuk mandi setelah melahirkan, sama seperti daun leniti.

Sumber foto: Dokumentasi SimpaSio Institute

Sebongkoh kayu batahapa dalam menyembuhkan panas atau demam balita. Obat tradisional batahapa dikonsumsi setelah kayu batahapa direbus.

Sumber foto: Dokumentasi SimpaSio Institute

Spurge adalah tanaman yang dipercaya mampu menyembuhkan mata merah. Pada umumnya ia dipakai untuk mata merah yang disebabkan masuknya benda-benda dan/atau hewan kecil ke mata. Spurge harus dicabut sampai ke akar-akarnya, sebelum akar-akarnya dicuci bersih. Akar ini kemudian dikunyah, lalu disemburkan atau ditiupkan ke mata yang memerah.

Sumber foto: Dokumentasi SimpaSio Institute

Dalam menunjang kesehatan, seringkali warga Nagi Larantuka juga mengkonsumsi beberapa obat tradisional yang dicampur, yakni dengan direbus bersama. Gambar di atas merupakan proses pengolahan berbagai tanaman berkhasiat. 

Pengharapan untuk reproduksi pengetahuan lokal 

Sumber foto: Dokumentasi SimpaSio Institute

Proses SimpaSio Institute dalam upaya modernisasi pengobatan tradisional tidak bisa lepas dari partisipasi warga setempat. Dalam dokumentasi yang tertera di atas, terlihat tim SimpaSio sedang mewawancarai Bu Susilawati. Perempuan yang akrab disapa Bu Sus itu bercerita mengenai beragam tanaman berkhasiat yang beliau ketahui. Adapun sebelum duduk dan mengobrol dalam proses wawancara, tim SimpaSio secara langsung pergi memanen sejumlah akar dan dedaunan bersama Bu Sus di kebun setempat. 

Kunjungan seperti ini dilakukan oleh SimpaSio Institute dengan pembagian anggota ke dalam tim-tim kecil untuk belajar dari warga. Berbagai temuan kemudian didiskusikan dalam lingkar belajar yang telah dibentuk. 
Adapun Lingkar Belajar SimpaSio Institute aktif dalam mendiskusikan tidak hanya pengobatan tradisional; namun juga sejarah kota, kondisi lanskap sosial dan budaya lokal terkini, hingga ‘alat-alat’ yang bisa dipakai untuk mempertajam kegiatan mereka seperti design thinking dan kampanye media kreatif. Maka, upaya ini bukan hanya tentang obat tradisional–namun menyoal reproduksi pengetahuan lokal yang lebih menyeluruh. Harapnya, kesadaran untuk merawat pengetahuan lokal yang kontekstual bisa terus hidup sebagai warisan lintas-generasi dari para leluhur.

Olahan kolase dari dokumentasi SimpaSio Institute (Muhammad Rizki/Linking and Learning Indonesia)

Ke depannya, sepak terjang SimpaSio Institute akan diperkaya dengan kegiatan-kegiatan menarik lainnya. Simak berita terbaru dan kegiatan dari tiap komunitas konsorsium Kampung Katong di akun Instagram RMI (@rmi.id), Lakoat.Kujawas (@lakoat.kujawas), SimpaSio Institute(@simpasioinstitute), Kolektif Videoge (@maigezine),  dan Kampung Katong/Being and Becoming Indigenous (@bnbindigenous).

Ditulis oleh Lingkar Belajar SimpaSio Institute dan Nabila Auliani Ruray dari Tim Komunikasi Linking and Learning Indonesia.

Bagikan

Share on facebook
Facebook
Share on google
Google+
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on pinterest
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lainnya