Bahasa Indonesia ID English EN

Lakoat.Kujawas: Merawat ‘Benih-Benih’ Pengetahuan Lokal

Salah satu keresahan utama yang mengganjal benak masyarakat adat Mollo, Desa Taiftob, Timur Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur adalah memudarnya pengetahuan adat lokal. Ketika ruang hidup Masyarakat Adat Mollo mengecil dan krisis iklim semakin terasa pengaruhnya, banyak keping-keping ritual budaya, pesta adat, resep makanan, hingga filosofi hidup yang terancam kelestariannya. 

Kehadiran Lakoat.Kujawas sejak tahun 2016 berupaya menanggapi kondisi ini. Lakoat.Kujawas adalah komunitas kewirausahaan sosial yang menggiati pengarsipan pangan lokal, kekayaan alam, dan seni budaya sebagai identitas masyarakat Mollo. Berbagai kerja pengarsipan pengetahuan adat dan revitalisasi kampung kemudian dilaksanakan dengan harapan bahwa Masyarakat Adat Mollo mampu berdaulat atas alam dan budayanya. Semangat ini pula yang dibawa ke dalam Kampung Katong–sebuah inisiatif kolektif oleh konsorsium beranggotakan RMI, Lakoat.Kujawas, SimpaSio Institute, dan Kolektif Videoge. 

Sumber: Dokumentasi Lakoat.Kujawas

Skol Tamolok (Tabaina Monit Neo Alekot) atau sekolah budaya merupakan salah satu kegiatan yang dirintis Lakoat.Kujawas sejak tahun 2019. Ia adalah model pendidikan kontekstual yang mengangkat isu lingkungan, seni, dan kebudayaan dari masyarakat adat Mollo. Narasumber yang biasa diundang Lakoat.Kujawas sebagai penutur adalah para tua adat dari Mollo yang mengerti betul seluk beluk kehidupan di Mollo dari generasi ke generasi.

Peristiwa duduk bersama dan saling bicara (tamolok) dari hati ke hati menjadi ruang pendidikan kritis yang inklusif bagi setiap lapisan masyarakat; baik dari ​​tokoh adat, sekolah, gereja, pemerintah desa, petani, penenun, orang muda dan anak-anak. Dalam Kampung Katong sendiri, hadir juga ruang belajar di dalam Kelas Membaca Tanah yang berfokus pada preservasi pengetahuan adat dan revitalisasi kampung.

Sumber: Dokumentasi Lakoat.Kujawas

Jika melihat sepak terjang Lakoat.Kujawas di kanal-kanal sosial medianya, tampak jelas bahwa pangan menjadi pintu masuk penting dalam proses pengarsipan pengetahuan lokal. Salah satu pangan berperan sentral bagi orang Mollo adalah jamur, terlebih karena tumbuhnya jamur merupakan indikator lingkungan yang lestari dan seimbang. 

Tertangkap dalam sorotan di atas adalah pu’ maon ana, salah satu jenis jamur yang paling dicari saat musim hujan. Sebelum diolah jadi makanan, jamur ini harus dibersihkan atau dicuci sebanyak tiga kali agar tidak ada kotoran yang menempel. Setelah dicuci, biasanya jamur ini akan dicampurkan dengan bumbu bawang merah, daun kemangi, cabai rawit, garam, air jeruk nipis, lalu bungkus dengan daun pisang dan dipanggang di atas bara api. 

Sumber: Dokumentasi Lakoat.Kujawas

Pu’ pasu adalah sejenis jamur tiram yang hidup di hutan. Ia memiliki dua varian warna, yaitu putih dan merah muda. Jamur pu’pasu biasanya tumbuh di pohon damar, tanaman paku, pohon kabesak, kelapa dan kemiri. Jamur ini memiliki tekstur yang berbeda ketika sudah tua yaitu kenyal seperti kulit daging sapi (pasu). Adapun jamur pu’ pasu dapat diolah seperti mengolah sayur pada umumnya– bisa ditumis, diolah menjadi sambal, dibungkus dengan daun pisang lalu dibakar, hingga diolah menjadi kuah bening. 

Sumber: Dokumentasi Lakoat.Kujawas

Foto di atas diambil ketika Mama Fun dan para anggota komunitas Lakoat.Kujawas kala berburu jamur pu maon ana’ di Hutan Napjam. Jamur maon ana tumbuh saat musim hujan pada batang pepohonan yang sudah tumbang dan lapuk. Kebanyakan tumbuh pada pohon randu dan pohon kelapa. Jamur jenis ini harus diambil saat pagi hari atau sore hari agar masih segar. 

Dengan proses pengarsipan pengetahuan lokal terkait jamur, antusiasme warga Desa Taiftob untuk kembali mengkonsumsi jamur-jamur hutan kian berkembang. Generasi muda pun mampu mewarisi berbagai pengetahuan lokal terkait pangan. Mereka juga lantas memiliki kesadaran kritis untuk menjaga alam yang tidak pernah bosan memberi terhadap manusia. Pengetahuan kolektif yang hampir punah kembali dihidupkan lewat gerakan komunitas.

Sumber: Dokumentasi Lakoat.Kujawas

Pu’ luke (warna cokelat kehitaman) atau yang biasa disebut jamur kuping tikus ini tumbuh sepanjang musim di tempat lembab, khususnya kayu kaliandra yang sudah lapuk. Jamur pu’ luke (kuping tikus) memiliki tekstur kenyal seperti jelly, bisa dicampur dengan aneka makanan seperti bihun goreng, sambal, dan capcay. 

Sumber: Dokumentasi Lakoat.Kujawas

Di tengah maraknya kegiatan yang berlangsung, Ume Fatumfaun merupakan ruang yang dikembangkan warga Desa Taiftob berdasarkan proses swadaya dan dengan dukungan penggalangan dana. Wujud Ume Fatumfaun mewakili artsitektur rumah tradisoinal mollo, Ume bubu, yang digambar arsitek dan digarap oleh warga Desa Taiftob. 

Ia merupakan ruang multifungsi yang mencakup FoodLab, perpustakaan benih, dan kafe. Tempat berbagi pengetahuan adat, mengarsip benih, serta bereksperimen dengan potensi pangan dan pertanian.

Sumber: Dokumentasi Lakoat.Kujawas

Tertangkap kamera adalah kunjungan ke situs mata air Oel Puah dan salah satu batu marga Batu Napi atau Napjam milik warga Oematan yang ada di Desa Taiftob. Ini merupakan bagian dari kegiatan Festival Tfuah Pah, festival musim tanam yang diselenggarakan Lakoat.Kujawas pada bulan November 2021 lalu. 

Kegiatan kunjungan belajar ini sekaligus berburu jamur di hutan sekitar situs batu dan mata air. Hadir beberapa perwakilan komunitas/kolektif yang menjadi jaringan solidaritas Lakoat.Kujawas, yakni dari Oof Tilun di Kuanfatu, Gubuk Literasi di Oeekam, dan teman-teman relawan dari Universitas Timor. 

Sumber: Dokumentasi Lakoat.Kujawas

Lu’at adalah sejenis sambal khas Timor yang termasuk makanan tradisional, biasa diolah dengan cara fermentasi selama kurang lebih tiga bulan. Di Lakoat.Kujawas, ada beberapa jenis sambal lu’at yang diproduksi, antara lain sambal lu’at bunga lengkuas, lu’at jeroan sapi, lu’at rebung bambu, dan lu’at belimbing wuluh. Lu’at adalah sambal yang paling tepat sebagai pendamping jagung bose dan jagung katemak.

Sumber: Dokumentasi Lakoat.Kujawas

Lauk tobe, sejenis nasi dari tepung singkong (laku) kering ditanak dengan ubi ungu cincang; dimasak dalam tobe anyaman lontar berbentuk kerucut di dalam periuk tanah. Ia ditemani dengan tumis daun pepaya dicampur bunga pepaya dan terasi, semur kot pesi; ditumis dengan tomat dan daging babi cincang; disantap dengan 3 jenis sambal lu’at usia fermentasi 3 bulan (lu’at bunga lengkuas, lu’at kulit jeruk dan lu’at bawang putih dengan belimbing wuluh). Adapun kot pesi merupakan sejenis kacang koto/krotok hutan yang beracun, tapi akan hilang racunnya setelah direbus sebanyak 12 kali.

Sumber: Dokumentasi Lakoat.Kujawas

Saat ini Lakoat.Kujawas tengah mengembangkan sebuah perpustakaan benih. Ume Fatumfaun menjadi ruang untuk upaya ini. Perpustakaan benih berfungsi sebagai lembaga yang mengarsipkan berbagai benih untuk bisa dipinjamkan atau diberi. Upaya pengarsipan ini diharapkan mampu mendukung keberagaman benih dan kedaulatan pangan. Dalam foto di atas searah jarum jam: pen mtasa (jagung merah), sejenis kedelai hitam, sain (jewawut), kot fua mese (komak), biji labu pempung (labu kuning), ki’ (kecipir) dan lael mael (porang). 

Selayaknya interaksi dengan benih-benih ini, setiap langkah dalam perjuangan Lakoat.Kujawas bagaikan upaya merawat benih-benih pengetahuan lokal melalui berbagai upaya revitalisasi, pengarsipan, dan penguatan pengetahuan serta masyarakat adat Mollo itu sendiri. Dari kampung, untuk masa depan yang lebih baik. 

Olahan kolase dari dokumentasi Lakoat.Kujawas (Nabila Auliani Ruray/Linking and Learning Indonesia)

Ke depannya, sepak terjang Kampung Katong akan diperkaya dengan kegiatan-kegiatan menarik lainnya. Simak berita terbaru dan kegiatan dari tiap komunitas di akun Instagram RMI (@rmi.id), Lakoat.Kujawas (@lakoat.kujawas), SimpaSio Institute(@simpasioinstitute), Kolektif Videoge (@maigezine),  dan Kampung Katong/Being and Becoming Indigenous (@bnbindigenous). 

Ditulis oleh tim Lakoat.Kujawas dan Nabila Auliani Ruray dari Tim Komunikasi Linking and Learning Indonesia.

 

Bagikan

Share on facebook
Facebook
Share on google
Google+
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on pinterest
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lainnya