Bahasa Indonesia ID English EN

Lii Marapu: Melestarikan Budaya Masyarakat Marapu melalui Pengarsipan Ritual dan Musik

Sekelompok pemuda, pada suatu hari yang cerah, terlihat saksama berkuda. Mereka mulai memacu kuda-kuda tersebut secara perlahan, lengkap dengan mengenakan aksesoris tertentu. Tak jauh dari lokasi berkuda tersebut, sekelompok orang lainnya hikmat dan khusuk beribadah. Seekor ayam kampung, sirih, pinang, dan pernak-pernik kebutuhan ritual dipersiapkan. Seorang pria dengan raut wajah serius melantunkan doa-doa kepada Sang Pencipta.

Aktivitas tersebut merupakan salah satu cuplikan dari rangkaian ritual Marapu–sebuah kepercayaan dari sekelompok penghayat di Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Cuplikan itu dapat dengan mudah disaksikan melalui kanal Youtube Lii Marapu Project. Adapun kanal ini merupakan bagian dari upaya advokasi Sumba Integrated Development (SID) dengan Marungga Foundation yang didukung Voice dalam meningkatkan akses sosial dan pendidikan bagi penghayat Marapu untuk memperkuat partisipasi politik mereka. 

Direktur Eksekutif SID Jesaya Sovianto Kila mengatakan bahwa upaya mendorong pengarsipan sekaligus dokumentasi kepercayaan Marapu tersebut pada mulanya lahir dari kekhawatiran akan sejumlah aset budaya di Sumba, baik di Sumba Timur, Tengah, Barat, hingga Barat Daya mulai terkikis. Penyebabnya diduga adalah banyaknya budaya lain yang mulai menggerus budaya asli, serta kurang adanya kesinambungan transfer budaya yang optimal sehingga dapat diakses oleh generasi baru–alias anak muda. Bahkan, generasi muda cenderung berjarak dengan budaya asli yang ada di Sumba.

Berbekal kondisi tersebut, SID berkolaborasi dengan sejumlah lembaga mulai menginisiasi pelestarian budaya. Inisiatif tersebut diawali dengan melestarikan bahasa Kodi di Sumba Barat Daya. Di kawasan tersebut, SID beserta lembaga-lembaga terkait bekerja sama dengan beberapa sekolah untuk menghasilkan buku panduan mengenai bahasa Kodi dalam bentuk cetak dan digital. Buku tersebut berisi informasi bahasa Kodi yang diinventarisir serta dikurasi tim, yang memuat bahasa serta terjemahan bahasa Kodi, untuk dapat dipelajari pelajar di sekolah dasar.

“Ketika kami dalam proses itu, kami temukan bahwa memang kondisi budaya, salah satunya bahasa, kondisinya memang cukup memprihatinkan. Sementara untuk ketahanan bahasa, antara (skala) 1-10 itu mungkin ada di 5. Jadi, sudah menuju ke kepunahan kalau tidak segera dilakukan langkah-langkah untuk melestarikan kembali, atau menghidupkan kembali,” kata pria yang akrab disapa Anto ini, Jumat (18/2/2022).

Pada masa tersebut SID sejatinya sudah sangat tergerak untuk melestarikan budaya-budaya di Sumba dalam skala luas. Namun, saat itu kondisi SID masih terbatas, sehingga diputuskan untuk melakukan sejumlah program yang ada dengan berbagai modal yang dimiliki. Hal ini tidak lepas dari visi misi SID sebagai organisasi yang salah satunya menggali budaya dan kearifan lokal di Sumba. Ikhtiar ini nantinya diharapkan dapat mendorong tumbuh dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat berbasis budaya lokal.

Dalam perjalannya, kata Anto, SID memperoleh informasi bahwa Voice tengah membuka hibah empowerment. Berbekal informasi tersebut, SID mengajukan proposal program yang terfokus untuk merevitalisasi aset budaya Marapu di wilayah Sumba Timur melalui pemberdayaan pemuda, perempuan, dan lansia. Pemilihan Sumba Timur didasarkan bahwa wilayah Sumba sangat luas dan beragam. Selain itu, wilayah Sumba memiliki beragam budaya serta kearifan lokal. Karenanya, diputuskan untuk melakukan pelestarian budaya yang terfokus dengan harapan bahwa program ini pada perjalanannya dapat memantik gerakan serupa di kawasan lain.

Anto mengisahkan, dalam mengupayakan revitalisasi budaya penghayat Marapu, dirinya beserta tim terlebih dahulu melakukan asesmen. Langkah ini dilakukan untuk memastikan aset budaya yang masih ada, serta untuk menginventarisir keadaan terkini. Selain itu, inisiatif tersebut berguna sebagai dasar dalam memberikan program pelestarian budaya yang tepat bagi masyarakat setempat.

Dari asesmen yang dilakukan, diketahui terdapat jarak antara generasi pendahulu dan anak muda dalam mengimplementasikan kebudayaan. Jarak tersebut disebabkan oleh terhambatnya transfer pengetahuan yang terjadi. Ini lantaran kebudayaan Marapu cenderung diturunkan kepada generasi berikutnya secara lisan, sehingga beberapa aspek rinci kebudayaan tidak tercatat dengan baik. Selain itu, terdapat anggapan bahwa budaya akan berlanjut dengan sendirinya kepada generasi baru–semacam gift yang hadir secara organik.

Melihat kondisi tersebut, SID mengupayakan program untuk membangkitkan budaya Marapu. Program ini dilengkapi dengan langkah mendokumentasikan setiap acara budaya yang digelar. Proses pendokumentasian dilaksanakan secara tertulis serta visual melalui video. Secara lebih rinci, dokumentasi tulisan berwujud buku secara fisik dan digital. Sedangkah video, diunggah melalui kanal Youtube Lii Marapu.

Bangkitkan ingatan budaya masa silam

Program-program yang dijalankan tak jarang memantik antusiasme masyarakat setempat. Lokakarya, pentas budaya, hingga diskusi yang dilakukan dihadiri warga dengan saksama. Bahkan, upaya ini juga membangkitkan ingatan akan budaya masa lampau yang telah lama tak terdengar. Apalagi, segala proses menghadirkan para generasi terdahulu yang berkecimpung dengan budaya tersebut untuk memantik diskusi dengan anak-anak muda.

“Mereka (masyarakat) senang, karena melalui event tersebut diketahui ternyata di desa tersebut ada sekian ritual yang ada, dari kami lakukan workshop itu […] Ada sejumlah ritual yang disampaikan waktu itu oleh tokoh-tokoh masyarakat. Jadi, ada diundang tokoh masyarakat, pemerintah desa, masyarakat sekitar, termasuk seniman waktu itu kami undang di tingkat desa, terus berbagi cerita di situ. Jadi mereka mulai menceritakan: ‘Ini lho, ritual kita dulu’,” ujar Anto dalam menggambarkan proses program.

Berbagai ikhtiar yang dilakukan tersebut kemudian menghasilkan dokumentasi komprehensif mengenai musik dan ritual penghayat Marapu. Setidaknya, inisiatif tersebut berhasil memotret kebudayaan Marapu dengan rincian 13 aliran musik tradisional, serta 5 aliran ritual Marapu. Hal ini juga ditopang dengan membantu masyarakat untuk menambah alat-alat musik yang membantu kebudayaan Marapu. 

Raih kepercayaan kalangan peneliti 

Di sisi lain, program yang memacu pendokumentasian penghayat Marapu mendorong para peneliti dan juga pemerhati kebudayaan Sumba tertarik mendukung langkah SID. Sejumlah peneliti bekerja sama dengan SID dalam mengupayakan pengarsipan berbagai sumber pengetahuan terkait budaya Sumba. Kini, sudah terkumpul 26 buku karya peneliti dari berbagai pelosok dunia mengenai budaya Sumba yang diterbitkan oleh SID untuk memudahkan akses bagi masyarakat setempat. 

Dari 26 terbitan tersebut, 13 diantaranya merupakan karya yang belum pernah dipublikasikan sama sekali. SID dipercaya untuk membantu proses penerbitannya  untuk kemudian dicetak dan disebarkan kepada masyarakat. Agar seluruh masyarakat dapat menikmatinya, buku-buku ini juga didigitalisasi. Dengan demikian, bagi masyarakat yang memerlukan dapat sewaktu-waktu menyalinnya dari flashdisk.

“Kami juga mendapat kiriman dari satu peneliti seorang antropolog dari Amerika Serikat. Dia kasih buku penelitiannya dia dari tahun 1960-an tentang Sumba,” jelas Anto.

Lebih lanjut, Anto mengungkapkan, untuk menyempurnakan berbagai ikhtiar yang dilakukan selama ini, dengan dukungan Voice, ke depan SID dengan pihak terkait bakal membuat website. Situs tersebut akan diisi dengan berbagai informasi mengenai budaya Sumba dengan skala besar. Dengan demikian siapapun yang tertarik mempelajari budaya Sumba, dapat memperoleh informasi secara utuh dan lengkap.

Ke depan, Anto berharap pelestarian budaya di Sumba Timur dapat terus berlanjut. Ia juga mengajak para lembaga adat setempat untuk mengadvokasi pelestarian budaya. Selain itu, pihaknya juga meminta pemerintah setempat berperan aktif dalam melestarikan budaya.

Anto menambahkan, kerja sama dengan Voice selama ini diharapkan juga dapat terus berlanjut. Hal ini, kata dia, akan menunjang pelestarian kebudayaan melalui pendidikan. Ini disebabkan, materi kebudayaan di sekolah-sekolah diminta untuk mengadopsi referensi sekaligus dokumentasi yang telah digagas SID selama ini, serta referensi dari sumber lainnya.

“Harapan saya memang nanti pendidikan kita, khususnya Sumba Timur, sudah bisa memuat tentang budaya Sumba Timur. Karena sangat luas sekali. Kita masih bisa bicara tentang kain dan sebagainya, itu masih banyak budaya Sumba yang masih belum di-explore,” pungkas Anto.

Ditulis oleh Ahmad Farid

Bagikan

Share on facebook
Facebook
Share on google
Google+
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on pinterest
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lainnya