Bahasa Indonesia ID English EN

Kolaborasi untuk Pemberdayaan Perempuan Pembela HAM

Ditulis oleh: Nabila Gita Andani

Pada hari Kamis, 2 Mei 2024, Pamflet Generasi mengadakan diskusi publik bertajuk “Tuai Tumbuh Bersemi Melalui Cita Indonesia Inklusi” yang menghadirkan Istuti Leili Lubis dari Serikat Perempuan Independen (SPI) Labuhanbatu dan Prof. Alimatul Qibtiyah, S.Ag., M.Si., Ph.D dari Komnas Perempuan sebagai narasumber, serta Dr. Rulyusa Pratikto dari Universitas Katolik Parahyangan selaku penanggap. Diskusi ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan multi-stakeholder forum yang mempertemukan stakeholder dengan mitra penerima hibah Voice Indonesia (Indonesia Inklusi). Melalui kegiatan tersebut, baik stakeholder maupun mitra difasilitasi untuk dapat bertukar pengetahuan dan pengalaman terkait advokasi yang telah mereka lakukan selama ini.

Gambar Ilustrasi 1

Memeluk Diri Perempuan Pembela HAM: Praktik Baik dari Komunitas Perempuan Akar Rumput

Kak Leili membagikan pengalamannya yang juga dituangkan ke dalam salah satu cerita dalam Cita Indonesia Inklusi. Awalnya, Kak Leili mengaku tidak familiar dengan isu kekerasan terhadap perempuan dan beliau hanya “diajak” oleh abangnya terlibat dalam berbagai kegiatan SPI. Setelah melalui banyak hal, mulai dari melakukan pendampingan di polres hingga membantu proses mediasi dengan keluarga korban, Kak Leili mulai menyadari pentingnya isu tersebut karena masih banyaknya kendala yang dihadapi perempuan korban kekerasan saat berusaha memperoleh keadilan. Kendati sempat merasa ragu dan tertekan saat melakukan pekerjaannya, pada akhirnya Kak Leili meneguhkan keputusannya untuk terus mengupayakan advokasi atas hak-hak perempuan korban kekerasan. “Saya mengontrol diri saya supaya tidak jadi pelaku (kekerasan), makanya harus ada di sini. Baru setelahnya bisa menolong korban kekerasan,” begitu terangnya.

Selain hambatan yang dihadapi para korban, Kek Leili juga menceritakan sisi yang mungkin kerap luput dari perhatian, yaitu kerentanan yang juga dimiliki oleh perempuan-perempuan pembela HAM (PPHAM) dalam menjalankan tugasnya sebagai aktivis. Tentang bagaimana mereka kerap memperoleh ancaman dari pelaku, juga minimnya dukungan bagi kesejahteraan (wellbeing) mereka. “Perempuan itu rentan terhadap penyakit, misalnya ketika hamil tetap harus mendampingi, lalu dicaci maki oleh pelaku, ditambah mendengarkan keluh kesah korban. Itu kan, berdampak pada dirinya. Sudahlah nggak digaji, masih dibebankan banyak hal pula atas dirinya,” jelas Kak Leili. 

Faktanya, sebelum tergabung dalam konsorsium I Protect Now, teman-teman dari SPI bahkan sama sekali tak terpikir perihal asuransi kesehatan atau kesejahteraan untuk paralegal. Kadang terbersit perasaan malu pula saat berhadapan dengan korban karena merasa seharusnya berada di posisi yang membantu, bukan malah meminta bantuan. Akan tetapi, setelah mengetahui bahwa kesejahteraan untuk para PPHAM memang layak dan bisa diperjuangkan, mereka menjadi termotivasi untuk memulai gerakan akar rumput yang berakhir di skala nasional. 

Perjuangan teman-teman SPI dimulai dengan menggaet pemerintah desa dalam memberikan dukungan bagi layanan berbasis komunitas mereka yang telah berjalan sampai saat ini. Kemudian, di tingkat kabupaten, telah diadakan juga diskusi bersama BAZNAS dan UPTD mengenai peluang alokasi bantuan jaminan kesejahteraan bagi rekan-rekan paralegal. Bertahap tapi pasti, apa yang mereka lakukan berbuah manis. Saat ini, SPI telah memiliki protokol untuk jaminan kesehatan dan sosial bagi anggotanya yang disusun bersama I Protect Now. Meskipun baru disosialisasikan di ruang lingkup internal, protokol ini dinilai merupakan langkah awal yang baik untuk memastikan setiap PPHAM memperoleh dukungan yang layak dalam menjalankan pekerjaannya.

Peran Pemerintah dan Institusi Pendidikan dalam Meningkatkan Kesejahteraan PPHAM

Menurut Prof Alim, dalam dua tahun terakhir, data Komnas Perempuan menunjukkan adanya peningkatan kesadaran korban untuk melaporkan kasus kekerasan seksual yang mereka alami. Selain sosialisasi berkala, disahkannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang memberikan payung hukum serta jaminan bahwa laporan korban dapat ditangani dengan baik juga disinyalir sebagai salah satu faktor pendukungnya. Temuan ini menjadi bukti nyata pentingnya intervensi pemerintah sebagai pembuat kebijakan dalam mengatasi isu kekerasan pada perempuan.

Prof Alim juga sepakat bahwa selain korban, aktivis perempuan juga perlu diperkuat hak-haknya oleh pemerintah, apalagi jika mengingat segala kendala dan tantangan yang mereka hadapi. Saat ini, memang belum ada aturan yang secara khusus bisa mengakomodasi kebutuhan tersebut, namun Komnas Perempuan sudah memulai advokasinya terhadap hak-hak PPHAM melalui penerbitan Manual Perlindungan Keamanan PPHAM di Indonesia pada tahun 2022. Manual tersebut mencakup berbagai hal, mulai dari konsep PPHAM, konsep perlindungan dan keamanan bagi PPHAM, analisis risiko dan pengelolaannya, hingga penjelasan terkait kesejahteraan bagi PPHAM yang seringkali terlupakan. Di samping itu, upaya untuk memperkuat jaringan mitra juga sudah dilakukan oleh Komnas Perempuan, misalnya dengan memberdayakan PPHAM di akar rumput untuk menjalankan program-program pemerintah.

Gambar Ilustrasi 2

Selain pemenuhan hak atas jaminan kesejahteraan, hal lainnya yang juga sedang diperjuangkan adalah akses pendidikan bagi para PPHAM. Terkait hal ini, Pak Ruly selaku Kepala Program Studi Magister Ilmu Sosial Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) menerangkan bahwa isu perempuan dan gender sudah mulai disoroti oleh pihak kampus sebagai isu yang penting. Salah satu upaya konkretnya adalah dengan pengukuhan Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Unpar. 

Satgas PPKS pun sebenarnya bukan satu-satunya terobosan baru dari Unpar karena sebelumnya, kerja sama sudah terjalin di antara Unpar dan Yayasan SAPA yang berfokus pada isu pemberdayaan aktivis. Menurut Pak Ruly, para aktivis yang sehari-hari terjun ke lapangan ini dapat memberikan umpan balik yang bermanfaat bagi pihak kampus dalam merancang kebijakan yang berpihak pada perempuan korban kekerasan maupun PPHAM. Karenanya, pemberian bantuan beasiswa sebagai langkah pemberdayaan para aktivis dalam ranah pendidikan dirasa merupakan keputusan yang tepat. “Dengan meningkatkan tingkat pendidikan mereka, secara tidak langsung di masa depan juga akan meningkatkan kesejahteraan ekonomi mereka, pengetahuan mereka, kemampuan melakukan advokasi berbagai kebijakan, dan lain-lain,” tambah Pak Ruly.

Bentuk dukungan lainnya yang sedang diupayakan oleh Unpar adalah perancangan konsentrasi baru tentang cara mengelola social business, yang nantinya diharapkan dapat membantu menjawab persoalan mengenai bagaimana NGO bisa berdaya secara mandiri tanpa perlu bergantung kepada pihak lain seperti lembaga donor. Ini didasari beberapa masukan bahwa selain anggota dan stakeholder-nya, institusi yang membawahi aktivis juga perlu diberdayakan.

Secara umum, sebenarnya tantangan yang dihadapi institusi pendidikan dalam mengawal proses perlindungan terhadap PPHAM bukan berasal dari sisi internal, melainkan dari sisi peserta didik itu sendiri. Sampai dengan saat ini, mekanisme beasiswa yang diberikan oleh kampus memang terbatas dan hanya bisa mencukupi biaya kuliah saja. Jadi, untuk dapat memenuhi kebutuhannya sehari-hari, PPHAM yang sedang menempuh studi tetap harus bekerja. Ada kalanya mereka tidak bisa menghadiri kelas karena sedang bertugas, atau mengalami kesulitan mengumpulkan tugas karena berada di daerah terpencil yang minim jaringan internet. Menurut Pak Ruly, situasi ini memang kerap terjadi, namun tidak pernah menjadi hambatan berarti selama komunikasi yang baik terjalin di antara mahasiswa dan dosen. 

Perjalanan panjang dalam memperjuangkan kesejahteraan PPHAM yang melibatkan banyak pihak, mulai dari pemerintah sampai institusi pendidikan, merupakan pengingat bahwa aktivisme perempuan adalah isu yang kompleks. Karenanya, dibutuhkan pula kolaborasi dari berbagai stakeholder untuk mewujudkannya. Ke depannya, praktik baik yang sudah terjadi selama ini diharapkan dapat menjadi landasan dikukuhkannya pula kebijakan-kebijakan lain yang berfokus pada kesejahteraan PPHAM.

Bagikan

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on pinterest
Pinterest
Share on whatsapp
WhatsApp

Pertanyaan Lainnya