Bahasa Indonesia ID English EN

Dari Akar Rumput ke Pemerintahan: Mengupayakan Dunia Kerja yang Inklusif dan Berkeadilan

Ditulis oleh: Nabila Gita Andani

Pada Selasa, 4 Juni 2024, Jaringan Indonesia Inklusi menyelenggarakan rangkaian kegiatan Dialog Nasional Indonesia Inklusi, yang bertujuan untuk mempertemukan organisasi mitra penerima hibah Voice Indonesia dan para pemangku kepentingan. Dengan selesainya program Voice, dialog ini diharapkan dapat menjadi ruang pertukaran ide dan pengalaman selama menjalankan program tersebut. Salah satu sesi di hari itu bertajuk “Membangun Dunia Kerja yang Berkeadilan”, yang membahas upaya pembangunan sistem dan budaya kerja yang adil serta inklusif bagi semua kalangan. 

Diskusi yang dipandu oleh Luviana (Konde.Co) ini menghadirkan sejumlah narasumber dari latar belakang berbeda, yaitu Jumisih (Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia) yang mewakili cerita para buruh pabrik perempuan, Edy Supriyanto (Perkumpulan SEHATI Sukoharjo) dan Wiyanto, S.H, M.Si (Dinas Tenaga Kerja dan Perindustrian Kabupaten Wonogiri) yang membagikan pengalaman mereka menjalankan unit layanan disabilitas (ULD) di Wonogiri, dan Mawa Kresna (Project Multatuli) dengan reportasenya yang menyoroti isu kelompok buruh informal.

Informalisasi Relasi Kerja: Jebakan yang Tidak Disadari

Gambar 1: Dialog Nasional 2

Meskipun buruh pabrik memiliki dasar perlindungan hukum yang jelas, pada kenyataannya, fakta di lapangan tidak sama idealnya dengan apa yang tertulis dalam peraturan. Sudah mengalami pelecehan dan intimidasi, mereka juga tidak sepenuhnya mendapatkan hak-hak yang dijanjikan dalam undang-undang. Jumisih bercerita bagaimana para buruh dapat bekerja lebih dari delapan jam sehari, tidak memperoleh upah lembur sesuai perhitungan yang seharusnya, juga terpaksa mencari pekerjaan sampingan karena gaji yang diterimanya tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari. Kondisi ini bahkan menjadi lebih kompleks bagi buruh perempuan, yang kerap tidak memahami bahwa dunia kerja mereka tidak hanya berputar di tempat kerja, tetapi juga meliputi lingkup domestik.

Seolah kondisi mereka tak cukup memprihatinkan, diresmikannya UU Cipta Kerja yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah juga pada akhirnya menjadi mimpi buruk baru. Peraturan ini memberikan kelonggaran bagi pemberi kerja untuk mempekerjakan karyawan dengan hubungan kerja yang semakin tidak mengikat, mulai dari outsource hingga pekerja lepas. Rendahnya perlindungan hukum dalam hubungan kerja yang demikian berimplikasi pada menurunnya tingkat kesejahteraan para buruh. Karena ketakutan hubungan kerjanya bisa diputus sewaktu-waktu, buruh menjadi enggan untuk menagih apa yang sebenarnya sudah menjadi haknya, seperti cuti haid dan hak maternitas lainnya. “Tentunya, kita akan lebih percaya diri apabila status kita adalah pekerja tetap,” jelas Jumisih.

Isu informalisasi relasi kerja perlu diwaspadai karena diprediksi akan berkontribusi terhadap bertambahnya jumlah pekerja informal di Indonesia. Sebelumnya, Project Multatuli sudah mencoba menangkap potret keadaan kelompok pekerja informal tersebut, khususnya di kalangan kurir online. Seiring dengan berkembangnya industri teknologi, kurir dan ojek online menjadi sejumlah contoh pekerjaan yang paling dicari, juga paling mudah diakses. Siapa pun bisa mendaftar selama memiliki SIM dan bisa mengemudi. Fleksibilitas yang ditawarkannya pun terdengar menarik, siapa yang tidak tergugah dengan iming-iming mengatur waktu kerjanya sendiri?

Sayangnya, hubungan kerja kemitraan yang disematkan pada driver ojek ini bukanlah hubungan yang ideal. Relasi tersebut tidak setara karena menyandingkan korporat berkekuatan finansial dengan individu tanpa kekuatan. Fleksibilitas kerja yang digadang-gadang ini pun tak ubahnya bom waktu karena dalam perjalanannya, perlahan diketahui bahwa platform menerapkan sistem gamifikasi pada para driver ojek ini. Sistem gamifikasi ini mengkotak-kotakkan driver ke dalam level-level berbeda. Misalnya, walau waktu kerja mereka memang tidak diatur, apabila mereka tidak aktif bekerja, mereka tidak akan diberikan banyak pelanggan. Mau tak mau, driver pun terpaksa bekerja lebih keras agar bisa menerima lebih banyak pesanan. Sejak awal, hubungan tersebut memang relasi yang dipaksakan. “Nggak ada kemitraan yang benar-benar seimbang, semua harus ikut maunya perusahaan,” pungkas Kresna.

Berkenaan dengan isu ojek online tersebut, sampai saat ini pemerintah dinilai belum mengambil sikap yang tegas terhadap perusahaan penyedia platform. Per hari ini, pemerintah baru mengatur perihal tarif minimum aplikasi untuk menghindari persaingan usaha tidak sehat, yang sebenarnya tidak berhubungan dengan kesejahteraan para driver

Saat pemerintah belum berpihak kepada para pekerja, salah satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan menguatkan kelompok secara internal, yaitu dengan berserikat. Jumisih bercerita bahwa tergabung dalam serikat adalah satu-satunya cara ia bisa terpapar dengan isu-isu perburuhan, seperti konvensi ILO 190 dan ketidakadilan di dunia kerja. Penindasan dan pelecehan yang sehari-hari seolah dianggap angin lalu pun akhirnya bisa dipahaminya sebagai sebuah masalah yang serius. “Berserikat, bagi buruh, apa pun kerahnya, itu adalah pintu masuk untuk meningkatkan kesejahteraan sebagai kelas pekerja,” tegasnya. Kisah sukses Jumisih pun menjadi bukti. Melalui Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia, audiensi yang dilakukan bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A) akhirnya menginspirasi terbentuknya rumah perlindungan pekerja perempuan di sejumlah kawasan industri di Indonesia.

Kolaborasi dengan Pemerintah untuk Mendorong Keterlibatan Penyandang Disabilitas di Dunia Kerja

Gambar 2: Dialog Nasional 2

Di dunia kerja, menurut Pak Edy, kondisi penyandang disabilitas tidak lebih baik dibandingkan kelompok rentan lainnya. Beliau menilai teman-teman disabilitas seperti sengaja “disiapkan” untuk menjadi pekerja informal, contohnya dengan pemberian pelatihan memijat untuk penyandang disabilitas netra dan pelatihan menjahit untuk penyandang disabilitas fisik. Saat bergabung di industri formal pun, tak jarang mereka mendapatkan perlakuan semena-mena dari atasan dan rekan kerja karena dinilai tidak cukup kompeten dan menghambat pekerjaan tim.

Selain menerima stigma yang dilekatkan pada identitas mereka, kebijakan-kebijakan yang selama ini dijalankan pun dirasa cenderung performatif. Penyandang disabilitas hampir tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan sehingga program yang diberikan tidak tepat sasaran. Kemudian, meskipun banyak perusahaan sudah mulai mempekerjakan penyandang disabilitas sesuai mandat yang tercantum dalam UU No. 8 Tahun 2016, yaitu sebesar 1 persen dari keseluruhan pekerja untuk perusahaan swasta dan 2 persen untuk instansi pemerintah, hubungan kerja ini seringkali hanya berlandaskan belas kasihan dan pemenuhan kewajiban. “Yang terjadi sekarang, saat kontraknya selesai, teman-teman disabilitas tidak diperpanjang (kontraknya),” jelas Pak Edy.

Meskipun begitu, kerja sama di antara Dinas Ketenagakerjaan Wonogiri dan Yayasan SEHATI berhasil menjadi contoh perubahan baik yang mungkin terwujud saat pemerintah berkomitmen untuk memenuhi hak-hak penyandang disabilitas. Sebagai tindak lanjut dari Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 21 Tahun 2020 yang mensyaratkan pemerintah daerah untuk membentuk unit layanan disabilitas (ULD), dengan bantuan dari Voice, ULD di Wonogiri diresmikan pada 24 Mei 2022. Pada praktiknya, ULD berperan sebagai penyambung Dinas Ketenagakerjaan dengan para penyandang disabilitas dan perusahaan. Dalam menjalankan program-programnya, beberapa aspek yang menjadi fokus utama ULD  adalah peningkatan pemahaman mengenai dunia kerja yang inklusif, penegakan hukum, dan pembangunan kesadaran dari pihak perusahaan.

Misi edukatif yang diemban ULD ini tidak selalu berjalan mulus, mengingat rendahnya pemahaman mengenai dunia kerja di kalangan penyandang disabilitas. Ditambah lagi, resistensi pihak keluarga juga menjadi tantangan tersendiri. Masih terdapat anggapan bahwa bekerja akan menyulitkan bagi penyandang disabilitas. Untuk mengatasi hal tersebut, Dinas Ketenagakerjaan mulai mempekerjakan penyandang disabilitas sebagai pendamping ULD, yang diharapkan mampu memberikan perspektif dunia kerja yang lebih relevan bagi para penyandang disabilitas dan keluarganya. Kendatipun PP mensyaratkan pendamping ULD memiliki tingkat pendidikan minimal D3, untuk membuka kesempatan kerja yang lebih luas lagi bagi penyandang disabilitas, Dinas Ketenagakerjaan Wonogiri akhirnya melakukan diskresi yang memungkinkan lulusan SMA menjadi tenaga pendamping.

Selain itu, ULD juga konsisten mendorong perusahaan setempat untuk mempekerjakan penyandang disabilitas sesuai perundang-undangan yang berlaku. Guna mencapai tujuan tersebut, ULD menggandeng Dinas Ketenagakerjaan dan perusahaan-perusahaan setempat dalam penyusunan sistem informasi tenaga kerja disabilitas. Melalui database ini, dapat diketahui sejauh mana perusahaan sudah mematuhi ketentuan (terkait mempekerjakan penyandang disabilitas) dan bagaimana kondisi pekerja disabilitas yang sudah bekerja. ULD akan melakukan rekapitulasi data, kemudian menyampaikannya kepada HRD jika masih terdapat perusahaan yang belum merekrut tenaga kerja disabilitas sesuai peraturan. Ini merupakan terobosan baru, mengingat selama ini, pemerintah belum memiliki database pekerja dengan disabilitas yang mumpuni.

Sampai hari ini, ULD telah membantu lebih banyak lagi penyandang disabilitas di Wonogiri untuk tergabung dalam sektor formal dan memperoleh hak-haknya sebagai pekerja sesuai yang tercantum dalam undang-undang. Menurut data per Mei 2024, sudah ada 30 perusahaan yang mempekerjakan penyandang disabilitas dan 18 di antaranya sudah menjalankannya sesuai aturan, yakni sebanyak minimal 1 persen dari keseluruhan pekerja.  Semua praktik baik ini tidak mungkin terjadi jika pemerintah tidak kooperatif dan tegas kepada perusahaan dalam menegakkan regulasi. “Bagaimana pun, pemerintah yang punya tanggung jawab, kewenangan, dan kuasa untuk ‘memaksa’ perusahaan menerapkan aturan ini,” Pak Edy menambahkan.

Kondisi buruh saat ini, baik di sektor formal maupun informal, mungkin masih belum sepenuhnya mencapai titik ideal. Akan tetapi, praktik baik yang sudah dicontohkan beberapa organisasi mitra menunjukkan bahwa hal tersebut tidak mustahil. Sebelum memperoleh dukungan dari pemerintah, para buruh bisa mulai mengedukasi diri dengan isu-isu perburuhan melalui serikat. Setelah kolaborasi dengan pemerintah terjalin, penting untuk terus konsisten dan memastikan pemerintah tetap kooperatif di sepanjang prosesnya.

Bagikan

Share on facebook
Facebook
Share on google
Google+
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on pinterest
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lainnya