Bahasa Indonesia ID English EN

Merawat Kolaborasi Masyarakat Kelompok Rentan dan Pemerintah dalam Menciptakan Layanan Sosial yang Adil dan Inklusif

Ditulis oleh: Rika Rosvianti

Selasa, 4 Juni lalu, bertempat di Erasmus Huis Jakarta, diadakan Dialog Nasional Indonesia Inklusi. Dalam pembukaannya,  Jaringan Indonesia Inklusi membahas mengenai akses layanan sosial yang berkeadilan dan aksesibel dengan mendatangkan empat orang narasumber yang juga merupakan mitra program Voice, yakni: Dra. Kustini, Direktur CAI, Justice for Disability; Dra. Christriyati Ariani, M.Hum, Pamong Budaya Ahli Utama, Kemendikbudristek; Umbu Remi Deta, S.Kom, Pengurus Marapu dan Sofyan S.Sos, SH, MH, Kepala Pusat Pembudayaan dan Bantuan Hukum BPHN, Kemenkumham. 

Dipandu oleh Habibah Hasna Hermanadi dari The Conversation, diskusi dibuka dengan membahas mengenai situasi saat dalam konteks disabilitas dan penghayat kepercayaan, baik dari individu yang memiliki identitasnya, maupun perwakilan lembaga negara yang menjadi pengampu atas cakupan isu tersebut.

Tantangan dan Situasi Lapangan Kelompok Rentan dalam Layanan Sosial: Belum Adil dan Tidak Aksesibel

Gambar Narasumber dan Moderator Dialog Nasional 1 – Dialog Nasional Indonesia Inklusi

Dra. Kustini, Direktur CAI, Justice for Disability mengawali sesi diskusi dengan membahas keterbatasan disabilitas dalam mengakses fasilitas pendidikan dan kesehatan. Ia berbagi kisah masa kecilnya nya berpindah sekolah dari Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) ke sekolah reguler yang mengharuskannya melalui “masa percobaan” karena bila tidak bisa mengikuti, akan dikembalikan ke SLB. Selain itu, diskriminasi yang masih sering dialami disabilitas dalam pendidikan adalah terbatasnya akomodasi dan pembatasan jenis disabilitas. “Walaupun sudah ada aturan UU No 30 tahun 2020 yang menyatakan sekolah harus menyediakan akomodasi yang layak, belum sepenuhnya terwujud. Ada juga diskriminasi karena hanya menerima jenis disabilitas tertentu”, ujarnya. Terbatasnya akses disabilitas dalam pendidikan juga terjadi karena cara pandang yang dimiliki oleh pihak sekolah maupun orang tua disabilitas. Masih banyaknya pihak sekolah yang memandang disabilitas sebagai beban dan masih terbatasnya jumlah sekolah inklusi di Indonesia, ditambah dengan, masih ada orang tua yang beranggapan bahwa anaknya baru akan disekolahkan saat “telah sembuh” membuat disabilitas terlambat dan kesulitan mengakses pendidikan. 

Tidak hanya di isu pendidikan, Kustini juga menggambarkan hambatan yang dihadapi disabilitas di konteks kesehatan yang terjadi dalam hal terbatasnya layanan, obat maupun alat bantu yang perlu digunakan disabilitas seumur hidupnya: “Perempuan penyandang disabilitas masih minim yang bisa mendapat layanan kesehatan reproduksi, baru 9%, sementara masyarakat umum sampai 86,4% dari data BPS. Jaminan kesehatan nasional belum sepenuhnya bisa melindungi teman disabilitas baik dari obat-obatan maupun alat bantu yang perlu dipakai disabilitas seumur hidup“. Ditambahkannya bahwa hal ini terjadi karena masih sedikit fasilitas kesehatan yang memiliki SOP melayani pasien dengan disabilitas, sebab mereka juga belum memahami hambatan yang dimiliki oleh disabilitas.

Pembahasan mengenai tantangan situasi kelompok rentan dilanjutkan oleh Umbu Remi Deta, S.Kom, sebagai perwakilan dari Pengurus Marapu, salah satu kepercayaan yang ada di Sumba Timur. Ia menggambarkan situasi penghayat seputar pengakuan identitas kepercayaan mereka dalam kartu identitas yang masih tidak mengakui kepercayaan Marapu ataupun hanya memberikan tanda strip. Umbu Remi menyebutkan, hal ini terjadi karena masih ada penghayat maupun masyarakat umum yang tidak percaya dengan putusan MK mengenai pengakuan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, maupun karena medan geografis yang berat sehingga sulit dijangkau untuk advokasi pengakuan identitas. Secara khusus ia menyebutkan bagaimana masih jamak terjadi penulisan agama lain dalam kolom agama pada identitas penghayat agar bisa mengakses pendidikan. “Masih ada anak Marapu yang tidak mendapatkan pendidikan kepercayaan sesuai kepercayaannya. Masih ada yang orang tuanya penghayat kepercayaan, namun anaknya memilih atau dipaksa menjadi Kristen, sebagai praktek “Kristenisasi melalui pendidikan”.

Tantangan situasi lapangan yang dihadapi oleh dua perwakilan kelompok rentan ini kemudian direspon oleh Dra. Christriyati Ariani, M.Hum, Pamong Budaya Ahli Utama, Kemendikbudristek, dengan menambahkan gambaran sebab dan dampak lanjutan situasi tersebut. “Stigma dari masyarakat pada mereka yang membuat mereka trauma. Mereka seringkali disebut sebagai dukun secara klenik. Padahal mereka menganut agama leluhur, agama lokal dari negeri sendiri”. Christriyati menjelaskan bahwa stigma ini membuat akses para penghayat terhambat di bermacam sisi kehidupan. Ia mencontohkan akses pekerjaan yang terbatas bagi penghayat, yang masih terbentur pada tidak adanya pilihan kepercayaan mereka pada saat mendaftar pekerjaan secara online, sementara kolom agama tidak bisa mereka kosongkan karena itu membuat mereka tidak bisa mengikuti proses seleksi lebih lanjut. Saat penghayat mengekspresikan budayanya, juga rentan dihentikan kegiatannya oleh aparat keamanan tertentu. Bahkan mereka sulit untuk mengurus pemakaman dikarenakan penolakan dari masyarakat yang tidak mengenali identitas kepercayaan mereka. 

Menjawab hal ini, Sofyan S.Sos, SH, MH, Kepala Pusat Pembudayaan dan Bantuan Hukum BPHN, Kemenkumham, menjelaskan bermacam program dan kebijakan yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah sebagai upaya memberi solusi dari situasi yang dialami oleh disabilitas maupun penghayat dalam memperjuangkan hak dasarnya sebagai warga negara. Sofyan menyebutkan, Kemenkumham sudah menyediakan pengacara di setiap wilayah dan Pemberi Bantuan Hukum (PBH) serta Organisasi Bantuan Hukum (OBH) beroperasi di Indonesia di bawah koordinasi Kemenkumham yang bisa diakses gratis dalam mengurus kendala yang dialami oleh kelompok rentan. Para pihak tersebut disebutkan Sofyan, bisa membantu para penghayat dan disabilitas dalam memenuhi haknya, sejalan dengan tujuan bantuan hukum: “Empat tujuan bantuan hukum: memenuhi hak pemberi bantuan hukum atas akses keadilan, mewujudkan hak konstitusional warga negara, menjamin dana bantuan hukum tersebar secara merata dan mewujudkan peradilan yang efektif efisien dan dapat dipertanggungjawabkan”. 

Namun begitu, ia mengakui masih ada beberapa keterbatasan dalam sistem bantuan hukum yang sudah dibuat oleh Kemenkumham, di antaranya: bantuan hukum belum merata di kabupaten kota di Indonesia, belum adanya PBH khusus untuk disabilitas atau perempuan, masih ada layanan PBH yang belum sesuai standar sehingga tiap PBH perlu membuat SOP dalam pemberian layanan bantuan hukum. 

Peluang dan Praktik Baik yang Bisa Dimanfaatkan untuk Mewujudkan Layanan Sosial yang Adil dan Aksesibel

Beberapa praktik baik sudah terlaksana melalui upaya yang diinisiasi oleh komunitas dan kelompok rentan terkait. Kustini mencontohkan inisiatif yang telah dilakukan oleh disabilitas dalam memperjuangkan hak mereka, khususnya dalam mengakses hak kesehatan. “Kami juga melakukan edukasi ke tenaga kesehatan untuk memiliki peningkatan kapasitas agar bisa berinteraksi dan memberikan pelayanan bagi disabilitas”.

Gambar Suasana Dialog Nasional 1
Gambar Suasana Dialog Nasional 1

Dari kelompok penghayat pun, sudah ada advokasi kebijakan dan anggaran di tingkat desa yang melahirkan 4 SK Kades yang mendukung Marapu. Ada 3 desa yang sudah menganggarkan dana desa bagi advokasi Marapu, serta muncul peraturan Bupati no 33 tahun 2023 tentang layanan pendidikan bagi penghayat Marapu di Sumba Timur, sebagai satu-satunya peraturan Bupati di Indonesia terhadap kelompok penghayat. Tidak hanya itu, telah terbentuk MOU antara Kejaksaan Negeri Sumba Timur, dengan Badan Pengurus Marapu dan SID terkait peningkatan pemberian bantuan hukum. Marapu kini bahkan juga telah memiliki website yang dikelola secara mandiri.

Dari segi hukum, Sofyan menyebutkan saat ini Kemenkumham memiliki program pelatihan paralegal yang bisa diikuti oleh para penghayat maupun disabilitas untuk memaksimalkan upaya mereka dalam mengakses hak dasarnya atas layanan sosial. Saat ini, sudah ada 600 paralegal khusus untuk desa dan lurah yang dilakukan oleh OBH atau PBH di bawah koordinasi Kemenkumham. Syarat untuk menjadi paralegal adalah: berusia 18 tahun, bisa baca tulis dan bisa menguasai bantuan hukum. Ia menekankan: “Terbuka peluang untuk menjadi paralegal melalui paralegal academy, dalam waktu 3 hari, 9 jam pelajaran, akan mendapat gelar non akademik sebagai juru damai. Bisa melakukan mediasi dan konsultasi hukum, tapi tidak bisa bekerja di pengadilan”.

Sementara itu, dari segi pendidikan, Christriyati menyebutkan beberapa upaya yang telah dilakukan oleh Kemendikbudristek bagi penghayat maupun disabilitas. Kementerian telah bekerja sama dengan OMS (Organisasi Masyarakat Sipil) untuk meningkatkan layanan bagi penghayat kepercayaan. Direktorat KMA (Kelompok Masyarakat Adat) yang mengampu masyarakat adat, berkoordinasi dengan 25 Kementerian dan Lembaga (K/L) untuk membantu memecahkan persoalan yang dihadapi oleh para penghayat kepercayaan dan masyarakat adat. Selain itu, mereka juga membentuk forum komunikasi, melibatkan 25 OMS yang peduli pada penghayat dan masyarakat adat, serta melakukan bimtek (bimbingan teknis) paralegal masyarakat adat dan penghayat, agar mereka bisa mengadvokasi dirinya. Khusus untuk memastikan akses pendidikan, Christriyati menyebutkan Dirjen Kebudayaan sedang menyusun kerangka fasilitator bagi para individu yang akan mengajar di sekolah adat.

Diskusi pagi hari itu ditutup dengan tanggapan dari Ummi Wahyuni, Ketua KPU Jabar sebgai penanggap yang mengingatkan peran yang bisa dimanfaatkan untuk memantik diskusi mengenai akses kelompok rentan atas layanan sosial, dalam menyambut pilkada di akhir tahun ini. “Ada tiga peran yang bisa dilakukan oleh disabilitas dalam politik, yaitu sebagai penyelenggara, peserta dan pemilih dalam pemilu. Saat memberikan aksesibilitas untuk memilih, penting dalam memfasilitasi dan mendukung disabilitas dalam politik”.

Bagikan

Share on facebook
Facebook
Share on google
Google+
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on pinterest
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lainnya