Bahasa Indonesia ID English EN

Media Inklusif Ciptakan Lingkungan Aman Bagi Kalangan Marginal

Masyarakat membutuhkan lingkungan yang inklusif. Dengan itu, ruang aman, nyaman untuk bertumbuh dan berkembang bisa tercipta bagi semua orang. Dan upaya tersebut bisa terwujud, salah satunya, dengan penerapan media yang inklusif.

Demikian yang diungkapkan Roy Thaniago, peneliti utama Indeks Media Inklusif 2020; Rapor Jurnalisme Daring dalam Pemberitaan Kelompok Marginal di Indonesia oleh Remotivi.

Menurutnya, selama ini konstruksi sosial yang terbentuk kerap mengacu pada mayoritas. Sehingga, suara-suara kelompok marginal rentan tertinggal. Di titik inilah media bisa menjadi jembatan menuju realitas. Alias menjadi representasi.

“Maksudnya begini, (sebagai pengalaman) saya sedikit banget bersentuhan dengan akses disabilitas. Saya tidak punya teman—yang saya ingat—dari TK hingga kuliah yang disabilitas. Tapi saya punya pandangan terhadap mereka. Dari mana saya dapatkan persepsi itu? Salah satunya dari media,” katanya.

Media berperan signifikan dalam membentuk kontruksi. Sehingga ketika ia keliru menggambarkan kalangan marginal, akan berdampak pada persepsi yang salah, dan lebih jauh pada kebijakan yang tidak tepat.

Dalam hasil riset Indeks Media Inklusif 2020, media Tirto.id menduduki peringkat pertama untuk hampir seluruh klaster, kecuali klaster disabilitas yang dipuncaki Tempo.co.

Sebagai informasi, klaster dalam riset ini terbagi antara lain: Klaster Komunitas Religius, Klaster Disabilitas, Klaster Keragaman Gender dan Seksualitas, serta Klaster Perempuan dalam Kekerasan.

Khusus mengenai Klaster Disabilitas di mana Tempo.co memperoleh posisi tertinggi, Roy, demikian ia disapa, memiliki penjelasan khusus.

“Ada pendapat bahwa media yang memiliki rubrik khusus (seperti rubrik Disabilitas Tempo.co), berkorelasi dengan kualitas pemberitaannya. Itu terekam dalam nilai Tempo.co yang naik ketika dinilai berdasarkan klaster disabilitas. Jadi ada korelasi di sana,” tambahnya.

Di sisi lain, pada temuan riset ini, klaster Perempuan dalam Kekerasan meraih prosentase tertinggi dalam penulisan gaya episodik (57,9%). Ini bisa diartikan media masih dominan memberitakan perempuan dalam kekerasan pada konteks konflik yang dramatis, yang dikomentari individu yang tak mewakili perempuan dalam kekerasan.

Sehingga, tulis riset ini, “Lebih jauh, kami sampai pada kesimpulan bahwa tingginya pemberitaan isu perempuan bukanlah ekspresi simpatik, melainkan ekspresi ekonomi dari kebanyakan media yang diteliti dalam riset ini.”

Menurut Roy, secara sosiologis, cukup logis mengatakan jika kontruksi tersedia di media tercipta berdasarkan selera masyarakat. Begitupula sebaliknya. Namun, ia menekankan pentingnya memahami power relasi kuasa.

“Siapa di antara keduanya yang memiliki power lebih untuk memengaruhi. Siapa yang memiliki motivasi lebih untuk menciptakan selera. Maksudnya, masyarakat tidak punya intensi, motivasi cukup untuk membentuk media agar memiliki cara berpikir yang rasis, seksis, atau homofobik. Tapi media punya motivasi untuk membentuk itu. Mereka menebalkan stereotipe tersebut karena mereka hanya berpikir dengan cara itu mereka memperoleh laba,” tambahnya.

Selain itu, kata Roy, dalam pandangan normatif, media tidak selayaknya bekerja untuk pasar. Sebab media bukan semata entitas ekonomi, namun lebih dari itu, ia berperan sebagai institusi sosial.

Apalagi dalam keseharian, media diberikan previlege di masyarakat. Terutama dalam memperoleh informasi paling cepat, hingga akses ke narasumber (pejabat).

Terakhir menurut Roy, untuk membenahi iklim media yang lebih inklusif, diperlukan perubahan dari model bisnis media. Sebab, model bisnis saat ini menjadikan pekerja media bermasalah, dari melayani algoritma, hingga hasrat dominan.

“Kalau saya sendiri punya usul sejak tahun lalu, konsepnya bernama public service journalism. Ini mirip dengan public service broadcasting begitu. Seperti BBC, TVRI, tapi itu kan broadcasting. Nah ini journalism, jadi ada public fund, dikelola oleh negara. Tapi mekanismenya kita bisa bikin lebih detail yang bisa dipakai untuk mendanai proses kerja-kerja jurnalistik,” pungkasnya.

Ditulis oleh Ahmad Farid, Tim Komunikasi Linking and Learning Indonesia

Bagikan

Share on facebook
Facebook
Share on google
Google+
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on pinterest
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lainnya