Bahasa Indonesia ID English EN

Kunjungan SOFI institute ke Difabel Blora Mustika

Malam hari pada 27 Desember 2020, rombongan dari SOFI institute akhirnya menginjakkan kaki di Blora setelah seharian menempuh perjalanan darat. Mereka bertolak dari Cirebon untuk bersilaturahmi ke Difabel Blora Mustika (DBM), salah satu keluarga Indonesia Inklusi di bawah VOICE Indonesia. Dalam kegiatan tersebut, SOFI institute tidak hanya melibatkan anggota dan staf program, tetapi juga teman-teman dari jaringan komunitas yang selama setahun belakangan terlibat dalam kegiatan mereka. Kedua lembaga bertemu pada esok harinya di sekretariat DBM. Di markas tersebut mereka saling bertukar cerita mengenai fokus gerakan masing-masing.

DBM lahir dari kegelisahan sekaligus semangat yang dirasakan orang-orang dengan disabilitas di Kabupaten Blora terkait kondisi mereka. Mereka membentuk komunitas tersebut sebagai upaya untuk menghadirkan kesetaraan dan mendorong pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas di Blora. Berdiri pada tahun 2010 dengan jumlah anggota awal sebanyak tujuh orang, kini komunitas tersebut mempunyai enam puluh pengurus dan anggota aktif serta delapan ratus orang dampingan yang tersebar dalam tiga wilayah. DBM menjadi wadah bagi semua orang dengan disabilitas dari berbagai kalangan dan semua umur.

Meskipun SOFI institute dan DBM mengampu isu-isu yang berbeda, keduanya mempunyai titik temu pada nilai kesetaran. Kedatangan rombongan dari Cirebon tersebut dimaksudkan untuk belajar dari pengalaman DBM selama ini dalam mengadvokasikan isu disabilitas. Di Cirebon, menurut SOFI institute, pemerintah lokal belum memiliki rasa kesadaran yang cukup mengenai isu disabilitas. Oleh karena itu, dalam kunjungan tersebut SOFI institute mengajak salah satu anggota komunitas disabilitas di Cirebon, dengan harapan dapat belajar dari usaha-usaha DBM dan mereplikasinya untuk gerakan serupa di kota Cirebon.

“Ceritanya bermula dari Kang Omen [dari SOFI institute] nelfon, nanyain, ‘Ul, lagi sibuk nggak?’” ujar Ulya, peserta kegiatan, menceritakan ajakan yang ditawarkan kepadanya. Ulya datang bersama SOFI institute. Ia meluapkan kegembiraannya ketika mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi DBM. “Denger profil DBM aja udah excited banget, apalagi udah kenal sama Bang Gofur [dari DBM], jadi pengen ketemu sekalian.”

Kegiatan utama DBM adalah peningkatan kapasitas individu dan pembangunan karakter melalui pemberdayaan, yang direalisasikan melalui serangkaian kegiatan ekonomi kreatif. Produk-produk yang dihasilkan antara lain aneka jajanan, wadah anyaman, dan batik khas. Produk yang terakhir memiliki motif yang khas, disebut batik difabel, dan sudah mendapat pengakuan dari gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, selebriti nasional seperti Dedy Corbuzier, dan bahkan presiden Jokowi.

Selang kegiatan, peserta dari SOFI institute membaur dalam kegiatan yang tengah dijalani di sana. Salah satu peserta mendatangi seorang perempuan yang sedang membatik. Dengan menenteng ponsel sebagai mikrofon, ia menjadi host sementara satu temannya berada di belakang kamera dan merekam interaksi mereka. Perempuan tersebut mengenalkan dirinya sebagai Mbak Gemi. Sebelum bergabung dengan DBM, Mbak Gemi tidak banyak keluar rumah karena merasa malu. Bergabung dengan komunitas disabilitas tersebut membuat Mbak Gemi merasa termotivasi dan tidak sendirian. Ia menilai banyak kemajuan dalam dirinya dan komunitasnya. Keterampilannya dalam membatik mendatangkan banyak pesanan dari pelanggan.

Selain itu rombongan SOFI institute juga bertemu dengan PERDIFA di tempat yang sama. PERDIFA, atau panjangnya Perempuan Difabel, adalah komunitas dampingan DBM. PERDIFA menekankan pentingnya penguatan kapasitas perempuan dengan disabilitas melalui berbagai kegiatan pemberdayaan. Ulya mengaku sangat terinspirasi oleh isu gender yang dibawa oleh PERDIFA. “Jadi ini suatu terobosan baru sih, di mana disabilitas juga tidak hanya dalam peran ekonomi tapi mereka juga harus punya proteksi diri, termasuk wawasan tentang gender maupun teknologi.” Selain itu ia juga memuji pemanfaatan teknologi yang dilakukan dengan mengatakan, “Tidak hanya produksi tapi kegiatan tentang gender, motivasi-motivasi, dan kegiatan lainnya mereka bagi ke media sosial. Itu suatu hal yang menarik karena mereka ingin terus mengingatkan keberadaan mereka kepada masyarakat dan membuat masyarakat umum tertarik.”

Pihak PERDIFA sendiri sangat mendorong orang-orang dengan disabilitas yang tinggal di Cirebon untuk membentuk komunitas. “Kalau ingin inklusi, semua sama,buatlah komunitas karena akan ada penyadaran diri. Kalau teman-teman disabilitas dikumpulkan, mereka akan merasakan kemerdekaan terhadap dirinya sendiri. Kalau berkumpul dengan orang-orang non-disabilitas mungkin bisa merasa minder, jadi cobalah teman-teman yang di Cirebon bentuk komunitas. Dengan terbentuknya komunitas akan muncul penyadaran diri dan kesadaran Bersama.” Baik Perdifa maupun Difabel Blora Mustika menilai pentingnya komunitas sebagai wadah untuk sama-sama menyorot kebijakan dan mengadvokasikan hak-hak penyandang disabilitas.

Ditulis oleh Fian Kurniawan, Tim Komunikasi Linking and Learning Indonesia

Bagikan

Share on facebook
Facebook
Share on google
Google+
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on pinterest
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lainnya